about us
my name is nova nofridawati!
RSS

Lube part III

13 maret 2009
Aku memandang sinis anak-anak sebayaku yang juga memandangku dengan pandangan tak jelas sepanjang koridor menuju kelasku. Aku benci pada mereka, selalu memandangku dengan pandangan tak jelas. Kenapa manusia begitu? Kenapa segala sesuatu di dunia ini tak jelas? Aku ingin mengusir mereka semua dari sini. Tapi tante Desy sudah melarangnya. Katanya sudah terlalu banyak yang aku usir dari sekolah ini. Harus aku akui, memang sudah banyak anak sekolah ini yang aku usir. Papaku pemilik sekolah ini, maka semua menurut padaku.
Ketika aku sudah duduk di bangkuku, aku membalas sapaan seorang gadis dengan anggukan yang sangat terpaksa. Aku memang harus mengangguk, walau aku tak suka. Karena dulu aku pernah mengusir seorang gadis karena ia berani-beraninya bertanya macam-macam padaku setelah ia melihat aku menjawab telepon dari tante Desy yang mengingatkanku untuk datang ke Psikolog sepulang sekolah nanti. Aku benci sekali datang ke Psikolog itu karena dia selalu memintaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Tapi aku tidak bisa membantah tante Desy. Karena sejak mamaku dimasukkan ke tanah 12 tahun yang lalu, tak ada kagi yang bicara padaku kecuali dia. Papaku saja tak pernah bicara lagi padaku sejak itu, padahal sebenarnya aku sangat ingin ia bicara padaku. Maka setelah menerima telepon itu, aku banting handphoneku karena kesal. Dan cewek itu datang, bertanya macam-macam, oleh karena itu aku usir dia dari sekolah ini karena aku tidak mau melihatnya lagi. Tapi sejak itu, tante Desy melarangku untuk mengusir orang lagi. Maka aku turuti saja pintanya.
☺☺☺
Aku kembali keluar kelas ketika pak dago memintaku untuk menjawab pertanyaannya. Harus berapa kali aku katakan kalau aku tak suka bicara? Walaupun aku sangsi apakah aku pernah mengatakannya. Tapi paling tidak aku sudah menunjukkannya. Seharusnya ia tahu itu.
Seseorang menabrakku ketika aku berbelok ke kanan di ujung koridor karena ia berjalan mundur dan mengendap-endap.
”Lube?” getar bibirnya kaget begitu melihatku.
Aku diam saja. Aku pandangi wajahnya yang manis. Menurutku wajahnya menrik sekali. Baru kali ini aku melihat yang seperti ini. Matanya bening, seperti bersinar.
”Jangan keluarin gue ya..” pintanya.
Aku tetap tak menjawab. Cewek ini terang-terangan sekali. Ingin aku mengatakan, tenang saja, aku tak boleh lagi mengusir orang oleh tanteku, tapi aku tetap diam saja.
”Gue enggak sengaja nabrak lo tadi. Gue..” ia nyengir kuda. “Diam-diam keluar kelas.” Sambungnya.
Aku beranjak. Meninggalkannya yang sepertinya masih ingin bicara.
“Eh Lube bentar!” panggilnya.
Aku berhenti. Ragu-ragu akhirnya ia bicara. “Em satu lagi, jangan bilangin guru ya..” katanya..
Aku tersenyum melihat tingkahnya ini. Aku tidak mungkin melakukan itu.
Ia sepertinya bingung. “Kenapa lo senyum?” tanyanya.
Aku tak menjawab, lalu kembali melanjutkan langkahku.
“Eh lo kabur juga ya?” tanyanya mencoba mensejajarkan langkahnya denganku.
Aku tetap diam. Kabur? Apa yang seperti aku lakukan ini bisa dikategorikan kabur juga?
Terdengar suara laki-laki dewasa di ujung koridor di belakang kami, sepertinya mendekat.
”Wua.. Lube, cepetan lari!” katanya sambil menarik lenganku.
Ia membawaku ke belakang sekolah, dan berhenti ketika kami mentok di tembok pagar sekolah.
”Gue biasanya kalau kabur lewat sini.” katanya. ”Kalau lo, lewat depanpun pasti dibukain juga gerbangnya sama satpam ya? Tapi menurut gue, malah di sini serunya. Kalau lewat depan namanya bukan kabur. Kalau bisa keluar sekolah dengan sembunyi-sembunyi gini, pas kabur rasanya puas. Ayo cepetan naik! Lo bisa manjat kan?” ocehnya panjang lebar.
Aku memandang wajahnya dan tembok bergantian. Aku tidak percaya cewek seperti dia dapat memanjat pagar tembok ini. Dan dia memintaku untuk naik ke pagar ini? Aku tak pernah memanjat seumur hidup.
“Kenapa?” tanyanya. “Lo enggak pernah manjat ya? Ya udah deh, biar gue duluan. Ntar lo liatin cara gue ya.” Katanya lagi.
Aku jadi merasa aneh dengan diriku sendiri. Kenapa aku tidak marah padanya? Padahal dia sudah begitu banyak bicara. Aku malah geli melihatnya. Mungkin karena dia tahu aku tak suka bicara, maka setiap ia bicara dijawabnya sendiri. lagi pula jawabannya memang seperti yang aku fikirkan.
”Eh lo jangan ngintip ya!” katanya ketika ia akan mulai memanjat.
Aku tertawa tanpa suara.
”Eh Lube bisa ketawa!” pekiknya. ”Lo keren juga kalau ketawa gitu.” katanya. ”Ya udah, ayo cepetan naik, ikutin cara gue tadi.” katanya lagi begitu ia sudah sampai di atas tembok, ia duduk di tembok itu.
Aku menurutinya. Mengikuti setiap langkah yang ia perlihatkan tadi. Dengan susah payah akhirnya aku sampai juga di atas tembok, aku ikut duduk di sana.
”Hei! Siapa yang di atas pagar?” teriak seseorang di belakang kami.
Ia panik. Yang berteriak adalah pak Suto, salah satu satpam sekolah ini. “Eh Lube, cepetan!” katanya.
Kami melompat. Ia menarik tanganku dan berlari. Pak Suto berteriak di balik pagar. “Siapa itu yang kabur?”
Kami terus berlari, sampai gedung sekolahpun tidak terlihat lagi.
“Hosh-hosh-hosh..” nafasnya memburu. “Hahaha..” ia tertawa. “Seru kan?”
Aku tak menjawab. Masih berusaha menetralkan nafasku.
Ia pergi ke warung di seberang jalan dan kembali dengan membawa dua botol air mineral lalu memberikannya satu padaku.
”Eh seger..” desahnya.
Aku mengangguk mengiyakan. Memang aku akui, baru kali ini aku merasakan betapa segarnya rasa air.
”Lo mau kemana rencananya?” tanyanya.
Aku tak menjawab. Akupun masih berfikir mau kemana. Masalahnya tadi aku sama sekali tidak berniat kabur dari sekolah. Aku hanya keluar kelas karena pak Dago, nanti setelah jam pelajarannya berakhir, aku juga akan kembali ke kelas.
”Belom tau ya?” tanyanya sekali lagi seperti tahu apa yang ada di kepalaku. ”Ya udah, ikut gue aja dulu.” katanya lalu kembali menarik tanganku.
Aku terus mengikuti langkahnya. Ia melepas tanganku begitu kami sampai di depan sebuah panti asuhan.
”Kak Rera!!” pekik anak-anak di panti itu menyambut kedatangannya.
”Hei..” Rera lalu berbaur dengan mereka.
“Kak, aku tadi di sekolah dapet seratus..” oceh seorang gadis kecil, mungil.
Rera tersenyum padanya. “Iya? Pinter dong. Besok kakak bawain coklat!”
“Bener kak?” Tanya gadis cilik itu.
Rera mengangguk pasti.
“Kak aku juga mau!!!” teriak yang lain.
”Iya-iya, entar kakak kasih satu-satu, tapi nilainya besok seratus ya!”
”Iya!” koor anak-anak itu.
“Eh kak, itu siapa?” Tanya seorang bocah laki-laki gendut menunjukku.
Rera menoleh padaku. “Oh iya, ini temen kakak. Namanya kak Lube.” sambungnya. Ia memperkenalkanku pada mereka.
Mereka menyalamiku satu-satu sambil menyebut nama masing-masing. Aku menjawabnya dengan senyum.
”Kak Lube enggak bisa bicara ya?” tanya anak laki-laki itu lagi.
Aku tetap hanya tersenyum menjawabnya.
”Enggak apa-apa kok, di sini juga ada yang enggak bisa bicara, namanya Peilin.”
”Bukan!” Rera cepat-cepat meralat. ”Kak Lube bukan enggak bisa bicara, kak Lube hanya enggak suka bicara.” katanya.
”Kok gitu? Kalau Peilin dikasih suara, dia pasti senang sekali.” oceh sigendut lagi.
Rera cepat-cepat bertindak. ”Ya udah, sana kalian main dulu ya..” katanya.
Semua menurut. Mereka segera bermain di laangan. Ramai sekali. Mereka tertawa-tawa. Aku dan Rera duduk di atas rumput tak jauh dari mereka, memandangi mereka. Harus aku akui, baru kali ini aku senang mendengar keramaian. Aku memandang wajah gadis di sebelahku, dia kelihatan bahagia sekali. Apa dia bahagia?
”Gue seneng banget loh kalau ke sini!” katanya.
Aku terperanjat. Kenapa cewek ini selalu bisa menebak apa yang ada di kepalaku?
”Menurut gue, kita lah yang menciptakan kebahagiaan dari keadaan yang ada. Kalau kita menunggu sampai keadaan yang membuat kita bahagia, maka kita enggak akan pernah benar-benar merasa bahagia.” katanya.
Kali ini aku benar-benar diam. Biasanya memang tidak ada suara yang keluar dari mulutku, hanya saja kali ini memang tak ada apa-apa yang terfikir di kepalaku.
Ia tersenyum. “Kalau ternyata di masa lalu ada yang menyakitkan, jangan berusaha buat ngelupain, karena masalah itu malah akan semakin keinget. Tapi berusahalah buat menerima. Bagi aku, kalau mau bahagia itu gampang, bersenyukur dan berbagi, itu kuncinya.” Katanya lagi.


sebenernya, Lube ini adalah cerpen yang aku buat untuk menuhin tugas akhir bahasa indonesia pas kelas 3 sma dulu, so long time,
dr awal aku posting jg lama banget baru dilanjutin,
so, wait for the nest chapter, ok? it is will be the last chapter...
and please leave some comments!
thanks....

trash-trash-trash!!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: