about us
my name is nova nofridawati!
RSS

girl side girl

Hidup itu bagaikan roda, berputar, ada saatnya kita di atas, ada saatnya kita di bawah, aku pernah mendengar istilah itu, tapi aku tidak pernah percaya kalau hal itu benar-benar akan menjadi kenyataan dalam hidup. Enam bulan yang lalu aku pindah dari kampungku ke kota ini untuk menuntut ilmu di sebuah Universitas terkenal di kota ini dengan menggadaikan sawah orang tuaku di kampung. Saat itu aku senang sekali, sungguh semua hal rasanya patut untuk disyukuri. Aku percaya, kalau kita menjalani hidup dengan baik, lurus, bijak, maka kita akan mendapatkan balasan yang setimpal. Sampai aku melihat tetanggaku. Dia kos di kamar yang berandanya berseberangan dengan beranda kamarku di gedung kosan sebelah. Dia sungguh cantik, biasanya aku hanya melihat cewek secantik dia di tivi, tapi sekarang dia malah kos di seberang kamarku. Semua yang ada padanya membuat aku terkagum-kagum. Isi kamarnya lengkap, seperti di hotel bintang lima. Mewah sekali! Mulai dari AC, kulkas, futniture yang mewah, serta hal-hal lain yang hanya bisa membuat aku ternganga. Tapi lucunya gadis itu - yang begitu melihat ia pertama kali aku sudah merasa kalau ia seperti nona besar, maka kuberi saja nama Nona – selalu merutuk-rutuk, seperti semua hal yang ada pada dirinya salah. Lama aku memperhatikannya, tetap saja aku tidak menemukan satu hal pun yang bisa ia rutuki dalam hidupnya, semuanya menjadi kelihatan baik karena dia kaya. Aku memandangnya, mata kami bertemu beberapa detik.


Cewek itu ngeliatin gua. Dia kos di kamar yang berandanya berseberangan dengan beranda kamar gua di gedung kosan sebelah. Pertama kali gua ngeliat dia enam bulan lalu, dia datang sendiri sama seperti gua, tapi hal yang menarik buat gua adalah dia sepertinya sangat mensyukuri keberadaannya di situ. Lama gua perhatiin dia, tetep aja gua nggak nemuin satupun hal yang bisa disyukuri dari hidupnya, semuanya kelihatan jelek karena dia miskin. Gua langsung namain dia Nisa, soalnya nama itu biasanya buat orang-orang alim kayak dia. Sedangkan gua harus pergi dari rumah gua sendiri karena hal terkutuk harus terjadi dalam keluarga gua. Dua orang dewasa yang dengan terpaksa gua panggil orang tua, karena mereka yang melahirkan gua ke dunia ini serta yang membesarkan gua, dan tiba-tiba mereka menjelma menjadi makhluk yang juga menghancurkan hidup gua. Gua benci banget sama mereka berdua. Gua mutusin buat ngekos. Ternyata jadi anak kos juga sama sekali tidak bisa dibilang enak. Gua pengen banget tereak, tapi karena gua cuma sendirian di kos ini, gua cuma bisa merutuk-rutuk sendiri.
Pas pulang kuliah siangnya gue ketemu bencana lainnya. Asli! Pengen banget gue cekek tuh anak jalanan! Berani-beraninya dia hampir nyentuh gue! Tangannya itu, ntah berapa milyar kuman, baunya jangan dibayangin deh, bisa muntah! Tereak-tereak gue, eh si manis di seberang kamar gue malah ngasih duit ama anak itu. Gue tahu kalau dia tuh bukan anak orang kaya, secara kamarnya nggak ada isinya, bajunya juga jelek-jelek – walaupun dia tetap kelihatan manis, tetep aja gue tahu kalau tuh baju pasti murah – goblok! Bisa-bisa dia sendiri yang nggak bakalan makan untuk beberapa hari kedepan. Gua liatin dia, dia malah senyum sama gua.


Aku senyum sama si Nona waktu dia ngeliatin aku pas aku kasih duit buat anak jalanan itu. Tadi Si Nona mencak-mencak sama anak jalanan yang meminta-minta padanya karena anak itu hampir saja menyentuh bajunya. Aku tahu kalau baju itu pasti sangat mahal, makanya dia panik sekali begitu ia pikir kalau tangan kotor dan bau anak jalanan itu bakal menyentuh bajunya. Aku hanya tersenyum melihatnya. Aku sama sekali tidak marah, aku juga tidak tahu, apapun yang dilakukannya kelihatan ‘bagus’ dimataku hanya karena dia cantik dan dia kaya. Aku akhirnya memberikan jatah makanku untuk besok kepada anak jalanan itu meskipun karena itu aku harus puasa sampai pada waktu yang tidak dapat dipastikan.
Malamnya Si Nona bawa temen cowoknya ke kamar, aku nggak tau apa yang bisa aku lakuin, jangankan untuk bertindak, apa yang aku fikirkan saja aku tak tahu, aku hanya bisa menutup jendelaku, lalu aku mencoba tidur, tapi tetap tidak bisa.


Gua jadi nggak bisa tidur, padahal cowok gua udah pergi dari tadi. Dia pasti kecewa banget. Abisan gua jadi nggak mood begitu liat mukanya Nisa udah kayak abis nelen garpu pas liat gua bawa cowok ke kamar. Gua juga nggak tahu gua kenapa, yang jelas mukanya Nisa kebayang-bayang terus sama gua, entah itu bagus atau nggak.
Entah kapan tepatnya gua akhirnya ketiduran, gua kebangun karena telfon mama pagi ini. Mama bilang kalau sidang perceraian ia dan papa akhirnya selesai. Mereka sekarang resmi bercerai. Gue nggak tahu gue harus lega atau marah mendengarnya. Sumpah hati gue sakit banget, tapi gue juga nggak tahu apa yang musti gue marahin. Kalau mereka selama ini bersatu tapi malah saling menyakiti satu sama lain, maka dengan ini sekarang mereka bisa saling memahami. Hati gue sakit banget, tapi gue mencoba menerima, toh paling nggak gue masih punya papa, setahu gue si Nisa udah nggak punya bapak lagi.
Gua langsung ke beranda begitu ingat dia. Gua liat Nisa juga lagi di berandanya, keliatannya dia lagi ada masalah.


Masalah! Masalah! Masalah! Semua dalam hidupku jadi bermasalah. Semuanya memburuk sejak aku datang ke kos ini. Ibu tidak bisa kirim uang, aku kelimpungan, aku tidak tahu harus mencari uang dimana, sedangkan aku setiap harinya harus melihat teman-temanku yang bergelimpangan harta di sekitarku, mau tak mau aku jadi membandingkan diriku dengan mereka. Aku itu cuma anak kampung yang dengan bermodal nekat kuliah ke Kota ini. jangankan harta seperti mereka, ayah saja aku sudah tidak punya. Aku udah nggak tahan hidup kayak gini. Bagaimana aku bisa menjalani hidup ini? Nilaiku di kampus juga jauh dari baik, teman-temanku semua anak orang kaya, tak ada yang menderita sepertiku, mereka semua bahagia. Aku, jangankan mendapatkan kebahagiaan seperti mereka, hidup yang aku fikir sudah patut di syukuri dari dulu saja aku sudah tidak bisa mendapatkannya lagi. Semua menjadi jelek hanya karena aku miskin. Aku harus menghentikan ini semua. Aku liat si Nona lagi ngeliatin aku dari berandanya. Ya sudahlah, aku harus pergi sekarang, aku tahu bagaimana mengakhiri semua ini.


Gue tereak-tereak sama si Nisa tadi. Gimana nggak? Dia berniat bunuh diri dengan loncat dari jembatan depan! Gue bener-bener kalut! Gue berlari sekuatnya untuk meraihnya terus gue tereak-tereak marah-marah sama dia. Gue nggak tahu apa yang terjadi, yang jelas gue mulai ‘belajar mensyukuri hidup’ ini dari dia, tapi kalau dia saja sudah menyerah dengan hidupnya, apa yang akan terjadi dengan hidup gue? Dia nggak boleh mati. Dia harus tanggung jawab. Akhirnya gua bawa dia ke kamar gua, pas dia udah tenang setelah minum air putih yang gua kasih, akhirnya kami kenalan.
“Hai, gue Nona.” Kata gua sambil mengulurkan sebelah tangan gua.
Dia kelihatan kaget sejenak, terus tersenyum, “Nisa.” Bisiknya. “Makasih udah nyelamatin hidup aku.” Sambungnya.
Gue nggak tahu gimana harus bilang ke dia kalau dia juga udah nyelamatin hidup gue tanpa dia sadari. Gua cuma mau dia bertahan, dengan begitu dia juga nyelamatin hidup gua.


Padang, 15 Juni 2010, 09:13 PM
Nonow Chan

sebenernya ini cerpen udah aku kasih untuk temenku, dia minta bikinin, untuk majalah yang dbuat sama kelasnya, entah jadi diterbitkan atau nggak,

trash-trash-trash!!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: